Minggu, 12 Oktober 2014

plankton


II TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Plankton

Plankton adalah mikroorganisme yang hidup melayang dalam air, dimana kemampuan renagnya terbatas, menyebabkan mikroorganisme tersebut mudah hanyut oleh gerakan atau arus air (Bougius, 1976). Plankton sebagai organisme yang tidak dapat menyebar melawan pergerakan massa air, yang meliputi fitoplankton (plankton nabati), zooplankton (plankton hewani) dan bakterioplankton (bakteri).
Menurut Nyabakken (1992), plankton adalah kelompok-kelompok organisme yang hanyut bebas dalam laut dan daya renangnya sangat lemah. Kemampuan berenang organism-organisme planktonik demikian lemah sehingga mereka sama sekali dikuasai oleh gerakan air, hal ini berbeda dengan hewan laut lainnya yang demikian gerakan dan daya renangnya cukup kuat untuk melawan arus laut. Plankton adalah suatu organism yang terpenting dalam ekosistem laut, kemudian dikatakan bahwa plankton merupakan salah satu organisme yang berukuran kecil dimana hidupnya terombang-ambing oleh arus perairan laut (Hutabarat dan Evans, 1988)

Klasifikasi Plankton
Berdasarkan Ukuran
Menurut ukurannya, plankton dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu makroplankton (lebih besar dari 1 mm), mikroplankton (0,06 mm – 1 mm) dan nanoplankton (kurang dari 0,06mm) meliputi berbagi jenis fitoplankton. Diperkirakan 70% dari semua fitoplankton di laut terdiri nanoplankton dan inilah yang memungkinkan terdapatnya zooplankton sebagai konsumer primer (Sachlan, 1972).
Berdasarkan siklus hidupnya
Berdasarkan siklus hidupnya, plankton terbagi dalam dua golongan yaitu holoplankton yang merupakan organisme akuatik dimana seluruh hidupnya bersifat sebagai plankton, golongan yang kedua yaitu meroplankton yang hanya sebahagiaan dari daur hidupnya bersifat plankton (Bougis, 1976; Nyabakken, 1992). Berdasarkan keadaan biologis
Berdasarkan keadaan biologisnya, Newel (1963) menggolongkan plankton sebagai berikut : (a) Fitoplankton yang merupakan tumbuhan renik, (b) Zooplankton yang merupakan hewan-hewan yang umumnya renik. Selanjutnya pembagian kelas fitoplankton menurut Arinardi et al (1997) yaitu :
a.    Bacillariophyceae (Diatom)
Ganggan ini juga disebut golden-brown algae karena kandungan pigmen warna kuning lebih banyak dari pada pigmen warna hijau sehingga perairan yang padat diatomnya akan terlihat agak coklat muda. Diatom merupakan anggota fitoplankton terbanyak di laut, terutama di laut terbuka dan ukurannya berkisar 0,01 – 1,00 mm. bentuk diatom dapat berupa sel tunggal atau rangkaian sel yang panjang. Setiap sel dilindunggi oleh dinding dan menyerupai kotak.
Perkembang biakan dilakukan dengan pembelaan sel sederhana (binari sel division). Pembelahaan ini menyebabkan sebahagian sel mengecil dan setelah beberapa kali membelah, sel akan mencapai ukuran minimum. Apabila kedua sel kecil itu bertemu, mereka akan membuang sebahagiaan dindingnya dan membentuk auxospora sehingga sel akan berbentuk normal kembali. Jenis diatom yang umum dijumpai antara lain Chaetoceros sp, Rhizosolenia sp, Thalassiothrix sp, Bacteriastrum sp sedangkan pada daerah perairan pantai dan mulut sungai jenis yang biasanya banyak yakni Skeletonema sp dan Coscinodiscus sp.
b.    Chlorophyceae
Ganggan ini berwana hijau biasa atau hijau carah umumnya terdapat di daerah eustuaria atau perairan tertutup dan sangat sedikit di laut terbuka. Chlorophyceae biasanya melimpah di perairan yang relatif tenang seperti danau dan tambak. Jenisnya adan yang berflagella dan ada yang tidak, umumnya berukuran nano atau ultraplankton, contohnya Chlorella yang berdiameter 0,005 mm.
c.    Cyanophyceae
Ganggan hijau-biru ini umumnya terdapat di perairan pantai dan perairan payau. Salah satu jenis yang dapat hidup di perairan miskin akan zat hara seperti perairan Laut Jawa dan Samudra Hindia adalah Trichoesmium. Ganggang ini bersel tunggal dengan ukuran hamya 0,001m, tersebar luas dan cukup banyak serta diduga merupakan makanan zooplankton kecil. Selnya yang lunak, kaya akan pigmen phycoerytrin sehingga berwarna kemerahan.
d.    Dinophyceae
Plankton ini cukup unik karena mempunyai sifat timbuhan dan sifat hewan. Sifat tumbuhan `dinoflagellata terlihat dengan cara menyerap zat hara serta membentuk makanannya sendiri sehingga digolongkan dalam kelompok ganggang, tetapi di sisi lain ia dapat memangsa biota lainnya. Dinoflagellata memperbanyak diri dengan pembelahan biasa. Reproduksi secara seksual juga terjadi pada beberapa jenis dinoflagellata. Genera yang umum di jumpai di laut, antara lain : Noctiluca, Ceratium, Peridium, dan Dinophysis.
Struktur Komunitas dan Kelimpahan
Penyebaran plankton tidak merata dalam suatu perairan karena di pengaruhi faktor, baik kimia maupun fisika, antara lain intensitas cahaya matahari, salinitas, suhu (Arinandi, 1997). Sedangkan menurut Welch (1948) bahwa ketidak ragaman penyebaran plankton secara horizontal tidak dapat terjadi di daerah yang luas tetapi juga pada danau-danau kecil, laut dan tambak. Penyebaran ini dipengaruhi oleh faktor fisis seperti aliran air, arus, kedalam dan proses “up welling”  yang menyebabkan berfariasinya nitrat dan juga menyebabkan terjadinya percampuran massa air (Davis, 1955).
Menurut Sachlan (1972), penyebaran plankton dalam perairan dipengaruhi oleh sifat fototaksis. Fitoplankton bersifat fototaksis positif, dan zooplankton bersifat fototaksis negatif.
Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman atau “Diversity Indekx” di artikan sebagai suatu gambaran secara matematik tentang jumlah spesies suatu organisme dalam populasi. Indeks keanekaragaman akan mempermudah dalam menganalisi informasi-informasi mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme. Suatu cara yang paling sederhana untuk menyatakan indeks  keanekaragaman yaitu dengan menetukan prosentase komposisi dari spesies di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragaman, meskipun harga ini juga sangat tergantung dari jumlah total individu masing-masing spesies (Kaswadji, 1976).
Indeks keanekaragaman dapat dijadikan petunjuk seberapa besar tingkat pencemaran suatu perairan. Dasar penilaian kualitas air berdasarkan nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat dalam Tabel 1
Tabel 1. Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon- Wiever  (Wardoyo, 1974).

Nilai Indeks
Kualitas Air
3,0 - 4,5

2,0 - 3,0
1,0 - 2,0
0,0 - 1,0
Tercemar sangat ringan
Tercemar ringan
Tercemat sedang
Tercemar berat

Indeks Keseragaman
Dalam suatu komunitas, kemerataan individu tiap spesies dapat diketahui dengan menghitung indeks keseragaman. Indeks keseragaman ini merupakan suatu angka yang tidak bersatuan, yang besarnya antara 0 – 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan kecenderungan bahwa suatu spesies mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseagaman, maka populasi menunjukan keseragaman, yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau merata (Pasengo, 1995).
Indeks Dominansi
Dominansi jenis fitoplankton dapat diketahui dengan menghitung Indeks Dominansi (C). Nilai indeks dominansi mendekati satu jika suatu komunitas didominansi oleh jenis atau spesies tertentu  dan jika tidak ada jenis yang dominan, maka nilai indeks dominansinya mendekati nol (Odum, 1971).
Parameter Lingkungan
Kehidupan organism dalam air yang sangat tergantung pada kualitas air setempat, sehingga baik tumbuhan maupun hewan yang termasuk dalam ekosistem perairan secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia airnya (Odum, 1971).
Faktor abiotik seperti cahaya, suhu, kecerahan, salinitas dan ketersediaan unsure-unsur hara sangat menentukan kelimpahan plankton sebagai salah satu komponen abiotik di dalam perairan (Welch, 1952).
Arus
Arus adalah gerakan massa air permukaan yang ditimbulkan terutama oleh pengaruh angin. Arus dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti grafitasi bumi, keadaan dasar, distribusi pantai dan gerak rotasi bumi terutama arus-arus yang skala salinitasnya besar seperti arus-arus laut bebas (Nyabakken, 1992). Akibat yang paling menguntungkan dari adanya arus ialah adanya kemungkinan transport bahan-bahan makanan dari satu daerah ke daerah lain. Tetapi adapula kemungkinan bahwa bahan-bahan pencemar terangkut ke daerah yang lebih luas. Arus membantu menyebarkan organisme, terutama organisme-organisme planktonik. Arus juga menyebarkan telur dan larva sebgai hewan akiatik sehingga dapat mengurangi persaingan makanan dengan induk mereka (Koesoebiono, 1981).  Selanjutnya oleh Wickstead (1965), dikatakan arus sangat penting artinya bagi sebaran plankton di laut. Arus permukaan maupun arus dasar perairan menyebabkan plankton dapat tersebar tidak merata dalam volume air laut.
Menurut Mason (1981), berdasarkan kecepatan arusnya maka perairan dapat dikelompokan menjadi berarus sangat cepat (> 100 cm/detik), cepat (50-100 cm/detik), sedang (25-50 cm/detik), lambat (10-25 cm/detik) dan sangat lambat (< 10 cm/detik).
Suhu (oC)
Suhu merupakan parameter yang penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan laut. Menurut Hutabarat dan Evans (1988), suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan organisme tersebut. Selanjutnya Odum (1971) menyatakan bahwa suhu air mempunyai peran penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota air, sehingga kebutuhan akan oksigen terlarut juga meninggkat. Menurut Wardoyo (1974), makin tinggi suhu, kadar garam dan tekanan persial gas-gas yang terlarut dalam air maka kelarutan oksigen dalam air berkurang. Pengaruh suhu pada plankton larva tidak seragam di seluruh perairan dan terhadap masing-masing kelompok atau populasi. Pada telur yang sedang berkembang dan larva dari hewan laut, toleransi terhadap suhu air laut cenderung bertambah ketika mereka menjadi lebih tua. Dalam perubahan suhu tersebut, pertumbuhan larva dipercepat oleh suhu yang tinggi (Romimoharto dan Juwana, 1998).
Menurut Ray dan Rao (1964), secara umum suhu optimal bagi perkembangan plankton adalah 20 oC – 30 oC. selanjutnya Shetty et.al (1963) mengatakan bahwa setiap organisme hidup mempunyai batas toleransi terhadap suhu disekitarnya.
Salinitas
Salinitas adalah garan-garam yang terlarut dalam satu kilogram air laut dan dinyatakan dalam satuan perseribu (Nyabakken, 1992). Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam air laut terlarut macam-macam garam terlarut NaCl, selain itu terdapat pulagaram-garam magnesium, kalium dan sebagainya (Nontji, 1987). Kandungan garam di laut tidak sama di berbagi tempat. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagi faktor seperti pola siklus air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.
Friendrich (1969) mengemukakan bahwa Cepepoda mampu hidup pada kisaran salinitas tertentu bahkan pada kondisi anaerop untuk cepepoda pelagis. Acartia Longiremis hidup pada kisaran salinitas 6 – 35 o /oo,  Centropages hamatus hidup pada kisaran 13 – 23 o /oo Paracalanus parvus pada kisaran 19 -  34 o /oo. dan Acrocalanus gibber dapat menyesuaikan diri pada kisaran salinitas 32 – 35 o /oo.   
Salinitas mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam hal disteribusi biota laut akuatik. Salinitas merupakan parameter yang berperan dalam lingkungan ekologi laut. Beberapa organisme ada nyang tahan terhadap perubahan salinitas yang besar, ada pula yang tahan terhadap salinitas yang kecil (Nyabakken, 1992).
Menurut Sachan (1972), pada salinitas 0 -10 o /oo  hidup plankton air tawar, pada salinitas 10 – 20 o /oo hidup plankton air tawar dan laut, sedangkan pada salinitas yang lebih besar dari 20 o /oo  hidup palankton air laut.


Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan hasil pengukuran kosentrasi ion hidrogen dalam larutan dan menunjukan keseimbangan antara asam dan basa air. Adanya karbonat hidrogen dan bikarbonat akan meningkatkan keasaman (Saeni, 1989).
Boyd dan Linchtkoper (1979) menyatakan bahwa pH air sangat dipengaruhi oleh karbondioksida sebagai substansi asam. Fitoplankton dan vegetasi alam lainnya mempengaruhi kosentrasi karbondioksida dalam air selama proses fotosintesis sehingga pH air akan turun pada malam hari.
Nilai pH suatu perairan adalah salah satu parameter yang cukup penting dalam memantau kualitas air. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktifitas biologis misalanya fitosintesis dan respirasi organisme (Pescod, 1973). Menurup Omoro dan Ikeda (1984) menyatakan bahwa pH air laut dianggap sebagai salah satu foktor utama yang membatasi laju pertumbuhan plankton dan nilainya berkisar antara 7,0 – 8,5. Suatu perairan dengan pH 5,5 – 6,5 dan pH yang lebih besar dari 8,5 termasuk perairan yang tidak produktif dan perairan dengan pH antara 7,5 – 8,5 mempunyai produksi yang sangat tinggi (Kaswadji, 1976).
Oksigen Terlarut
            Oksigen adalah suatu zat yang sangat esensial bagi pernapasan dan merupakan suatu komponen yang utama bagi metabolisme ikan dan organisme lainnya. Oksigen di perairan bersumber dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya, air hujan dan aliran permukaan yang masuk, sehingga tinggi rendahnya kadar oksigen dalam air banyak tergantung pada kondisi gelombang, suhu, salinitas, tekanan parsial gas-gas yang ada di udara maupun di air, kedalam serta potensial biotik perairan. Makin tinggi suhu, salinitas, dan tekanan parsial gas-gas terlarut di dalam air, maka kelarutan oksigen dalam air makin berkurang (Odum, 1971).
Menurut Hutagalung dkk (1997), adanya kenaikan suhu air, respirasi (khususnya malam hari), lapisan minyak di atas permukaan laut dan masuknya limbah organik yang mudah terurai ke lingkungan laut dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut.
Oksigen dibutuhkan oleh semua organisme, termasuk plankton. Pada siang hari proses fotosintesis akan menghasilkan gelembung oksigen yang akan dimanfaatkan oleh organisme laut termasuk zooplankton. Pengurangan oksigen dala air dapat mempengaruhi kecepatan tumbun dan menyebabkan kematian. Menurut Pescod (1976) kelarutan oksigen 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan biotik akuatik, selama perairan tersebut tidak mengandung bahan toksik.
Kekeruhan
Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi yanmg terkandung dalan air (Wardoyo, 1974). Selanjutnya dikatakan bahwa warna air umumnya disebabkan oleh senyawa-senyawa organisme nabati seperti tanin, asam humus, gambut, plankton dan tamanan air. Kekeruhan air umumnya memiliki sifat-sifat yang berlawana dengan kecerahan air. Kekeruhan merupakan sifat optik dari suatu larutan yaitu hamburan dan absorbsi cahaya yang melaluinya dan tidak dapat dihubungkan secara langsung antara kekeruhan dengan kadar semua zat suspensi karena tergantung juga kepada ukuran dan bentuk butir (Alaerts dan Santika, 1987).
Boyd (1979) menyatakan kekeruhan dapat disebabkan oleh suspensi partikel, yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi organisme perairan. Kekeruhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan organisme yang menyesuaikan diri pada air yang jernih menjadi terhambat dan dapat pula menyebabkan kematian karena menggangu pernafasan (Michael, 1994).
Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi misalanya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik termasuk zooplankton, sehingga dapat mempengaruhi perkembangbiakan plankton larva dan dapat mengakibatkan kematian (Effendi, 1997). Menurut Baka (1996) bahwa kekeruhan perairan yang kurang dari 5 NTU tergolong perairan yang jernih.

Sabtu, 11 Oktober 2014

EKOSISTEM MANGROVE





Tugas  Individu            : Laporan individu
Mata Kuliah                 : Biologi Dasar
Dosen                             : Murni, S.Pi.,M.Si

BIOLOGI EKOSISTEM MANGROVE



Oleh     :

ABDUL HALIM AKBAR

105 940 714 12


JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan Rahmat, taufiq dan inayah-Nyalah, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Laporan ini untuk memenuhi salah satu syarat sebagai akademik. Tak lupa pula Salam dan taslim senantiasa penulis panjatkan kepada sang revolusioner yaitu Rasulullah Muhammad SAW, yang mana ia telah di utus oleh Allah Swt Untuk membawa umatnya dari Alam yang penuh kegelapan Menuju Alam yang Terang-benerang.
Kami menyadari dalam menyusun laporan ini masi jauh dari kesempurnaan. baik bantuan materi yang terkandung di dalamnya maupun teknis penuslisanya, olehnya itu dengan segalah kerendahan hati kami menerima kritikan dan saran yang sipatnya membangun dari teman-teman dan juga dosen yang mengajari dan membimbing kami. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, semoga kita semua dalam dalam lindungan  Allah SWT.
Wassalamu Alaikum wr.wb
Makassar, 10 Desember  2012


                                                                             
                                                                                                      Penyusun

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser. Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
            Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas. Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu. Beberapa jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis menggunakan daerah pantai, Mangrove sebagai tempat Berlindung dan asuhan (nursery ground).
Oleh karena adanya berbagai keunikan dari ekosistem pantai, Mangrove serta banyaknya fungsinya di dalam ekosistem maka dipandang perlu untuk melakukan pengamatan dan identifikasi ekosistem pantai, Mangrove, khususnya di sekitar kabupaten maros.

1.2  Tujuan  Dan Kegunaan
Tujuan :
Praktek yang dilaksanakan bertujuan untuk menambah informasi yang di dapat dari kampus dengan cara langsung turun di lapangan mengecek dan menganalisis serta melakukan wawancara kepada teknisi tentang Ekosistem mangrove yang bertempat di laboratorium lapangan Universitas Muhammadiah Makassar Di desa nisombalia dusun kuri caddi  Kabupaten maros
Kegunaan:
Praktek yang dilaksanakan berguna untuk memperdalam ilmu pengetahuan dengan langsung melihat ke lapangan dan membuktikan tentang teori yang telah di pelajari dari kampus. Dan di sisi lain yaitu sebagai bahan informasi dan petunjuk untuk memanfaatkan hutan mangrove tersebut dengan baik, Agar hutan mangrove menjadi wilayah penyangga.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratandan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerahtransisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
 komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.

B.     Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut..





Gambar 1. Hutan Mangrove
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
            Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar,  merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
                        Perkiraan luas mangrove sangat beragam. FAO (1994) menyatakan bahwa luas hutan mangrove diseluruh dunia sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia (7.441.000 ha), Afrika ( 3.258.000 ha) dan Amerika (5,831.000 ha). Khusus di Indonesia yang merupakan Negara tropis berbentuk kepulauan dengan garis pantai lebih dari 81. 000 km, hutan mangrovenya seluas 4,25 juta ha (FAO/UNDP, 1982).
Sedangkan menurut  ( ISME ) berdasarkan citra landsat luas mangrove didunia sekitar 18,1 juta ha. Jenis – jenis mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan dimuara – muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda – beda tergantung pada kondisi habutatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang surut dan frekuensi penggenangan.
v Adaptasi terhadap kadar oksigen
Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas:
1)      bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara.
2)      bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
C.   Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
1)      Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam
2)      Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
3)      Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.





BAB  III
METODE PRAKTEK

3.1  Waktu dan Tempat

Kegiatan Praktek ini di lakasanakan pada hari Sabtu tanggal 1 Desember 2012, Pukul 10.00 – Selesai. yang dilaksanakan di Lapangan Tambak  Universitas Muhammadiyah Makassar yang bertempat Di Desa Nisombalia Dusun Kuri Caddi Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan.

3.2 Pengumpulan Data

Metode praktek yang dilakukan selama paktek lapang yaitu Pengamatan Secara langsung di lapangan untuk memperoleh data dengan  teknik yang diterapkan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak tentang Manfaat dan keberadaan organisme yang berada di sekitar  lingkungan Hutan Mangrov.
3.3 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan Praktikum yaitu:
1.      Alat tulis
2.      Kamera digital untuk mengambil gambar

BAB 1V
HASIL DAN PENBAHASAN


A.    Fungsi Dan Manfaat Hutan Bakau
1)      Manfaat / Fungsi Fisik :
a.       Menjaga agar garis pantai tetap stabil
b.      Melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi.
c.       Menahan badai/angin kencang dari laut .
d.      Menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru.
e.       Menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar.
f.       Mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.
2)      Manfaat / Fungsi Biologis :
a.       Menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai makanan.
b.      Tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang.
c.       Tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan satwa lain.
d.      Sumber plasma nutfah & sumber genetik.
e.       Merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota.
3)      Manfaat / Fungsi Ekonomis :
a.       Penghasil kayu : bakar, arang, bahan bangunan.
b.      Penghasil bahan baku industri : pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, kosmetik, dll
c.       Penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola tambak silvofishery
d.      Tempat wisata, penelitian & pendidikan.
B.     Kekayaan flora
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya. Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).



C.    Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Kerusakan Rawa Bakau (Mangrove)
Aktivitas manusia terhadap ekosistem hutan mangrove beserta dampak yang ditimbulkan.kegiatan dampak potensial tebang habis
1.      Tebang Pilih
Dampak potensial yang ditimbulkan yaitu :
Berubahnya komposisi tumbuhan, pohon-pohon mangrove akan digantikan olehspesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagiberfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nurseryground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi.
2.      Pengalihanaliran air tawar,misalnya pada pembangunan irigasi
Dampak potensial yang ditimbulkan yaitu :
Ø  Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran airtawar berkurang.Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi.
Ø  Peningkatan salinitas hutan(rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap airyang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tidak dapatmentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Ø  Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran air tawar berkurang.Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan.
3.      Konversimenjadi lahan pertanian,perikanan
Dampak potensial yang ditimbulkan :
Ø  Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larvaatau stadium muda ikan dan udang.
Ø  Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapatdiikat oleh substrat mangrove.
Ø  Pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrovedikonversi mengendap di hutan mangrove.
Ø  Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melaluisaluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut.
Ø  Erosi garis pantai yang sebelumnya ada mangrove.
4.      Pembuangan sampah cair (Sewage)
Dampak potensial yang ditimbulkan :
Ø  Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampahcair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S)dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
5.      Pembuangan sampah padat
Dampak potensial yang ditimbulkan :
Ø  Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yangakan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
Ø  Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yangkemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah
6.      Penambangan ekstraksi mineral
Dampak yang ditimbulkan :
Ø  Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatoforaoleh lapisan minyak.
Ø  Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan danudang tersebut.
Ø  Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnyadapat mematikan pohon mangrove.

BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.
v  Lingkungan fisik dan zonasi
Gambar 2. Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp.
Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
v  Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
v  Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.

v  Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove

Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
ü  Pelindung garis pantai dari abrasi,
ü  Mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
ü  Mencegah intrusi air laut ke daratan,
ü  Tempat berpijah aneka biota laut,
ü  tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga,
ü  Sebagai pengatur iklim mikro.
2. Fungsi Ekonomis :
ü  Penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan.
ü  Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna
ü  Kayu bakau memiliki kegunaan yang baik sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan terutama sebagai bahan pembuat arang. Kulit kayu menghasilkan tanin yang digunakan sebagai bahan penyamak.
ü  Kegunaan dari hutan bakau yang paling besar adalah sebagai penyeimbang ekologis dan sumber (langsung atau tidak langsung) pendapatan masyarakat pesisir, di mana peran pemerintah untuk pengaturannya masih sangat minim.
ü  Penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, DLL.












Saran
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama mengikuti kegiatan Praktek berlangsung yang dapat saya berikan untuk praktikum ini adalah Jangan sembarangan Menebang pohon bakau. Karena pohon bakau sangat berperan penting dalam kehidupan manusia di bumi ini, Selain itu juga pohon bakau sangat mendukung kelangsungan hidup oraganisme yang berada di sekitarnya. Dan parktikum mendatang harus dilakukan dengan lebih baik lagi.
















DAFTAR PUSTAKA

IUCN - The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. IUCN. Gland, Switzerland.

Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagianbahan Kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor, Indonesia.

Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun2000. Jakarta, Indonesia.

Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.
Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
http://sig-kehutanan.blogspot.com
http://ekologi-hutan.blogspot.com